Indahnya berbagi

Jumat, 16 November 2012

Memaknai Tahun Baru Hijriyah

ياأيها الذين أمنوا اتقوا الله ولتنظر نفس ما قدمت لغد واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون

 "Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dilakukan untuk hari esok (akhirat), bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hasyr: 18)

Sang waktu terus berjalan. tak terasa kita memasuki tahun baru 1434 Hijriyah. itu artinya hijrah Rasulullah SAW beserta para sahabatnya ke Yatsrib (Madinah) telah berumur 1434 tahun. sebuah peristiwa bersejarah yang patut dikenang. Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan untuk sebuah pengorbanan sejati, yang mengapresiasikan perlawanan akan kebathilan sekaligus sikap konsisten mengedepankan kepentingan misi dari kepentingan apa pun. agar ia tetap lestari dan terjaga dari kepunahan, meski karenanya harus bersimbah darah, meninggalkan negeri, harta, sanak, dan handai-taulan tercinta.

Dalam Ath-Thabaqat, Al-Laits bin Sa'ad mengutip sebuah riwayat dari Aisyah RA adalah Rasulullah SAW bersuka cita saat jumlah pengikutnya mencapai 70 orang, karena itu artinya Allah telah membuatkan "tameng pertahanan". Bukan Sembarangan mereka terdiri dari kaum profesional di bidang peperangan, persenjataan, dan pembelaan. Namun meski demikian, permusuhan dan penyiksaan kaum musyrik bertambah gencar dan berat. Bahkan, tingkat siksaan dan celaan yang dirasakan sahabat belum pernah dialami sebelumnya. Mereka pun mengadu kepada Rasulullah SAW. dan meminta izin untuk berhijrah. Pengaduan dan permintaan itu dijawab oleh Rasulullah SAW., "Sesungguhnya aku pun telah diberi tahu bahwa tempat kalian adalah Yatsrib. Barangsiapa yang ingin keluar (hijrah), maka hendaklah ia keluar ke Yatsrib."

Para sahabat kemudian hijrah secara bergelombang, dan tentu saja dengan sembunyi-sembunyi, kecuali Umar bin al-Khattab RA. dengan tegas Umar bahkan bersuara lantang, "Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anknya menjadi yatim piatu, hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini." Sebuah tantangan yang anti klimaks, karena tak satu pun orang kafir Quraisy yang berani menampakkan batang hidungnya. Akhirnya, tibalah Rasulullah di Yatsrib setelah sebelumnya para sahabatnya lebih dulu sampai.
Beliau disambut dengan penuh suka cita oleh sahabat Anshar. Kota Yatsrib di kemudian hari diganti namanya menjadi Al-Madinah al-Munawwarah. Hijrah itu sekaligus menjadi tonggak awal dimulainya kalender Islam.

Makna Hijrah

Secara harfiah, hijrah artinya berpindah. Secara istilah, ia mengandung dua makna: hijrah makani (tempat) dan hijrah maknawi (nilai). Hijrah makani artinya hijrah secara fisik, berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebathilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju ke-Islaman. Ringkasnya, hijrah kepada tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah (hijrah sejati). Alasannya, hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah SAW. dan para sahabatnya ke Madinah. Secara Makani (fisik), jelas mereka berjalan dari Makkah ke Madinah, menempuh jarak kurang lebih 450 KM. Secara maknawi juga jelas, mereka hijrah demi terjaganya misi Islam.

Al-Qahthani menyatakan bahwa hijrah sebagai urusan yang besar. Hijrah berhubungan erat dengan al-wala' wal bara' (loyalitas dan berlepas diri). Bal hiya min ahammi takaalifahaa (bahkan ia termasuk manifestasi/muwalah yang paling penting). Penting, karena menyangkut ketepatan seorang muslim dalam memberikan perwalian, kesetiaan, dan pembelaan. Juga, menyangkut ketepatan seorang muslim dalam menampakkan penolakan dan permusuhan kepada sesuatu yang patut dimusuhi.

Dalam sejarah, para rasul juga dekat dengan tradisi hijrah, dan semua atas semangat penegasan batas sebuah loyalitas, kesetiaan, keimanan, yang berujung pada menuju yang lebih baik atas Ridla Allah. Sebut misalnya Nabi Ibrahim Khalilullah, beliau telah melaukan hijrah beberapa kali, dari babilon ke Palestina, dari Palestina ke Mesir, dari Mesir ke Palestina lagi, semua itu demi risalah suci. Termasuk hijrah beliau dari Palestina ke Makkah yang dalam perkembangannya menjadi syari'at haji.

Ibrahim AS yang baru dikaruniai Ismail, anak yang selama ini dinanti, harus meninggalkan Palestina bersama istrinya, Hajar, menuju tanah gersang tak bertuan. Di tempat itulah Ibrahim meninggalkan anak dan istrinya dengan hanya dibekali sekantong makanan dan seteko air. Ibnu Katsir menceritakan dalam tafsirnya, saat Nabi Ibrahim hendak berlalu, sang istri menarik (menahan) tali kekang tunggangannya dan bertanya, "Apakah kanda akan meninggalkanku bersama anakmu di tempat yang tiada tanaman, lagi tak bertuan?" Ibrahim AS terdiam. Hajar mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali dan tetap saja Ibrahim diam. Sampai akhirnya Hajar mengganti pertanyaan, "Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan hal ini." "Benar" jawab Ibrahim. "Jika demikian, Allah tidak akan mempersulit kami."

Sungguh, sebuah dialog yang menusuk hati, merefleksikan keimanan yang amat dalam, sebuah ketundukan sekaligus pengorbanan yang menakjubkan. Terpancar sikap tawakal yang begitu tinggi, bahwa hanya Allah yang maha Menghidupkan, Maha Memberi Rezeki, Maha Mematikan. Sempurnalah implementasi hijrah pada diri Ibrahim AS dan keluarganya, aik secara makani maupun maknawi.

Ibrah dari Hijrah

Pelajaran atau ibrah yang nyata dari peristiwa hijrah adalah sebuah pengorbanan. setelah para sahabat keluar dari ujian berupa siksaan dan cercaan dari Kafir Quraisy di Makkah, tidak otomatis menjadikan mereka bebas dari ujian berikutnya. Yang paling gamblang adalah cobaan meninggalkan kemapanan. Tengoklah, bagaimana sahabat meninggalkan keluarga tercinta, rumah, pekerjaan, tanah air, dan sanak kadang. Secara lahiriyah, umumnya naluri manusia akan menyatakan ujian itu sungguh berat. Meninggalkan nilai material yang barangkali selama ini mereka rintis dan perjuangkan. Berpindah ke suatu tempat asing yang penuh spekulasi. Toh, kecintaan para sahabat akan Islam mengalahkan kecintaan pada semua itu. Kesucian akidah di atas segalanya. Hal ini sekaligus menegaskan, betapa maslahat diin atau agama menempati pertimbangan tertinggi dari maslahat-maslahat yang lain.

Pelajaran lain, hijrah menegaskan adanya perseteruan abadi antara kebathilan dengan kebenaran. Ibarat minyak dan air, ia tidak akan bisa bertemu, karenanya, adalah utopia (khayalan yang tak mungkin dicapainya) upaya-upaya "mengawinkan" antara nilai Islam dengan budaya masyarakat yang bertentangan dengan Islam, terlebih jika dilandasi nafsu mendahulukan budaya ketimbang nilai Islam dengan mengatas-namakan pluralisme dan humanisme.

Pelajaran berikutnya adalah perseteruan kebenaran dan kebathilan mengharuskan manusia memilih salah satu di antara keduanya, tidak ada sikap "non-blok". Allah SWT berfirman"

الحق من ربّك فلا تكوننّ من الممترين 

"Kebenaran itu datang dari Rabb-mu, maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu-ragu." (QS Al-Baqarah: 147)

Untuk menangkap spirit hijrah lebih jauh, rumusan sederhana Ibnu Qayyim cukup menarik, katanya, dalam kata hijrah terkandung arti berpindah "dari" dan berpindah "menuju". Maksudnya, berpindah dari yang semula tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya menuju kepada yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Jika rumusan global tersebut benar-benar dihayati setiap kaum muslimin untuk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan, barangkali nasib umat Islam secara umum akan lebih baik dari sekarang. Seorang koruptor akan berhenti dari korupsinya, para preman akan berhenti aksi bromo corahnya, tidak ada lagi muslim penimbun barang, orang miskin akan bersuka cita karena kecurahan infaq para dermawan. Para da'i berhenti bersengketa antar mereka dalam urusan yang kurang prinsip, dan seterusnya.

Lantas, mengapa kenyataannya tidak demikian? barangkali karena kita kurang menghayati dan mengamalkan arti hijrah sebagaimana mestinya. Wallahu a'lam. Selamat Tahun Baru 1434 Hijriyah.
( Dari berbagai sumber)

Label: